Sunday, June 1, 2014

Sekuntum Mawar Buat Emily
(1930)
Oleh: William Faulkner


I

    Pada saat Emily meninggal dunia, seluruh penduduk kota kami hadir di upacara pemakamannya: para pria yang ingin memberikan penghormatan mereka di masa-masa berkabung, para wanita yang sangat ingin sekali mengetahui isi dalam rumahnya yang tak seorangpun pernah melihanya selama sepuluh tahun belakangan selain seorang pelayan tuanya— tukang kebun sekaligus koki di rumah itu.
    Emily memiliki rumah besar berbingkai kaca berbentuk bujur sangkar. Dulu, rumah itu dipoles dengan cat putih berhiaskan kubah melengkung dengan puncak menara yang tinggi. Selain itu di dalam rumahnya terdapat balkon melingkar bergaya tujuh puluhan diatur dengan gaya yang dulunya menjadi idaman semua seorang. Ketika garasi dan mesin-mesin pemisah biji kapas memasuki dan menyapu kota itu bahkan di antara orang-orang terkemuka di sana, rumah Miss Emily tetap berdiri tak tersentuh, berdiri teguh di antara kepungan kereta-kereta pengangkut kapas dan stasiun-stasiun bahan bakar. Tapi kini Miss Emily telah pergi bergabung dengan nama-nama terkemuka tersebut di tempat mereka dibaringkan, di pemakaman orang-orang terkenal serta prajurit-prajurit korban perang kemerdekaan pada pertempuran Jefferson.
    Semasa hidupya, Miss Emily dikenal sebagai seorang pribadi yang kolot, pekerja keras,dan sosok yang peduli; karena semacam kewajiban yang dilakoninya di kota itu semenjak suatu hari pada tahun 1894 ketika Kolonel Kortis—walikota yang mengeluarkan peraturan tidak boleh ada wanita negro muncul di jalanan tanpa seorang pendamping—mengirimnya surat tagihan pajak, sumbangan yang harus dibayarkanya semenjak kematian ayahnya hingga batas waktu yang tak ditentukan. Bukan berarti Emily bersedia begitu saja memberikan sumbangan itu.  Akan tetapi Kolonel Sartoris berhasil mengarang cerita yang meyakinkanya. Dia mengatakan Ayah Miss Emily meminjam uang ke pemerintah kota dan pemerintah kota memilih cara seperti itu untuk membayar hutang tersebut. Hanya pria di masa Kolonel Sartoris yang bisa menemukan cara seperti itu, dan hanya wanitalah yang mempercayai ceritanya.
    Kesepakatan ini tak lagi berlaku pada generasi pemerintahan sepeninggal Kolonel Sartoris. Pada awal tahun, pemerintah kota  mengirimnya tagihan pajak melalui pos, namun tidak ada balasan yang datang dari Emily hingga Februari. Mereka lalu mengirimnya sebuah surat dinas memerintahkan Emily untuk mampir ke kantor Sheriff untuk kebaikannya. Seminggu berselang, surat kembali datang yang kali ini di tulis oleh walikota itu sendiri. Surat walikota berisikan tawaran kepada Emily apa dia membutuhkan kendaraan untuk ke kantor Sheriff karena walikota bisa mengirim kendaraan pribadinya untuk menjemput Emily. Surat balasan Emily ditulis di sebuah kertas tipis usang dengan tinta yang tidak begitu jelas berisikan bahwa Emily tidak ingin keluar rumahnya sama sekali. Pada balasan itu, dia juga melampirkan tagihan pajak tanpa komentar apapun.
    Emily dan pemerintah kota mengadakan pertemuan khusus dengan rombongan dewan pengurus kota tersebut. Ketua dewan mengetuk pintu rumah Emily dimana tak pernah ada seorang pengunjung datang ke sana semenjak dia berhenti memberikan les melukis lukisan cina delapan atau sepuluh tahun sebelumnya. Seorang tua berkulit hitam menyambut rombongan itu di ruang depan yang remang, dari sana terdapat tangga menuju ruangan atas yang lebih remang lagi. Di ruangan itu tercium bau debu dan barang-barang tak lagi dipakai, bau pengap dan lembab.  Pelayan berkulit hitam itu membawa mereka menuju ruang tamu yang dihiasi oleh perabotan berbahan dasar kulit. Ketika Negro itu membuka tirai salah satu jendela, mereka melihat celah-celah robekan pada bungkus kulit perabotan ruangan itu. Debu tebal yang keluar dari sofa berterbangan di bawah terpaan sinar matahari ketika rombongan tersebut duduk.  Di sebuah bingkai bercak-bercak di depan perapian terpampang potret ayah Emily dilukis dengan cat air.
    Mereka bangkit dari sofa ketika Emily memasuki ruangan itu, seorang wanita pendek bertubuh gempal dibalut pakaian hitam memakai rantai kalung emas yang menjulur hingga ke pinggang dan menghilang dalam balutan ikat pinggangnya. Dia duduk bersandar di sebuah tonggak terbuat dari pohon eboni dengan warna keemasan yang mengelupas. Rangka tubuhnya kecil dan kurus: mungkin dia masih terlihat gempal karena lemak obesitas yang tersisa di tubuhnya. Seperti sesosok yang lama tenggelam dalam genangan air dalam, dia tampak menggembung ditambah lagi dengan warna kulitnya yang pucat. Matanya, hilang dibawah timbunan lemak di wajahnya, tampak seperti dua biji batu bara yang dimasukkan ke dalam gumpalan sebuah adonan. Dengan mata itu,  Emily melihat sekiling menatap seluruh anggota rombongan ketika para tamu tersebut mengutarakan maksud kedatangan mereka.
    Dia tak mempersilahkan tamunya duduk kembali. Dia hanya berdiri di ambang pintu dan mendengarkan juru bicara rombongan itu mengutarakan maksud kedatangan mereka. Setelah juru bicara menyampaikan tujuan mereka,  suasana diam senyap mereka hanya mendengar suara dentingan jam tak terlihat di ujung rantai kalung emas yang dikenakan Emily.
    Emily menjawab dengan nada suara yang ketus dan dingin. “Aku tak memiliki pajak di Jeferson. Kolonel sartoris yang mengatakannya padaku. Silahkan lihat di dokumen kota supaya kalian puas.”
    “Kami telah memeriksanya. Kami adalah dewan pengurus kota, Miss Emily. Apakah anda tidak menerima surat pemberitahuan dari Sherrif yang ditandatangani olehnya sendiri?”
    “Aku memang menerima selembar kertas,” ujar Miss Emily. “Mungkin dia menganggap dirinya seorang Shefriff. Aku tak memiliki tagihan pajak di Jefferson.”
    “Tapi tak ada dokumen yang menunjukkanya. Kami harus menagihnya lewat—”
    “Silahkan tanya pada Kolonel Sartoris. Aku tak punya tagihan pajak di Jefferson.”
    “Tapi, Miss Emily—”
    “Aku katakan, tanyakan pada Kolonel Sartoris.” (Kolonel Sartoris telah meninggal dunia hampir sepuluh tahun). “Sudah ku bilang Aku tidak punya tagihan pajak di kota ini. Tobe!” Pelayan Negro itu muncul. “Antar bapak-bapak ini keluar rumah.”
II

    Dia mengusir mereka sama seperti dia telah mengusir pendahulu mereka tiga puluh tahun sebelumnya pada saat yang sama. Itu dua tahun setelah kematian ayahnya dan beberapa saat setelah kekasihnya— pria yang dipercaya akan menikahinya— meninggalkannya. Sejak ayahnya meninggal dunia dia jarang keluar rumah dan semenjak kekasihnya pergi, penduduk kota jarang sekali melihatnya keluar. Beberapa ibu-ibu telah mencoba berkunjung ke rumahnya tapi tak diterima. Satu-satunya tanda kehidupan di sana hanyala seorang pria Negro—seorang pemuda— yang keluar masuk rumah itu dengan menjinjing keranjang belanjaan.
    “Seolah-olah pria mengerti cara mengurus rumah,” ujar para ibu-ibu di lingkungan tersebut;  jadi mereka tidak heran ketika dari rumah Emily mulai tercium bau yang tidak sedap. Gabungan dari bau bangkai yang dikerumuni serta Grierson.
    “Seorang tetangga wanitanya pernah mengadu kepada walikota, Hakim Steven yang baru berusia delapan tahun.
    “Apa yang harus aku lakukan, Madam?” Tanya walikota itu.
    “Kenapa bertanya, peringatkan dia untuk membersihkannya,” jawab wanita itu. “Bukankah ada hukum mengenai itu?”
    “Aku yakin tak perlu seperti itu”, ujar Hakim Steven. “Itu mungkin hanya bangkai ular atau tikus yang dibunuh oleh pelayan negronya di halaman rumah itu. Aku akan berbicara dengan Negro itu.”
    Keesokan harinya dia menerima dua pengaduan lainnya, salah satunya berasal dari seorang pria yang datang rutukan malu-malu. “Kita harus menangani ini, Hakim. “Aku akan menjadi orang terakhir yang akan memperingatkan Miss Emily, tapi kita harus bertindak.” Malam itu dewan pengurus kota bertemu—tiga orang tua berjanggut kelabu dan seorang pemuda, pria yang tadi mengusulkan mengambil tindakan.
    “Caranya mudah saja,” kata pria itu. “Kirimkan surat kepada Miss Emily berisikan suruhan agar dia membersihkan tempat tinggalnya. Berikan dia tenggang waktu untuk melakukanya, dan jika dia tidak melakukannya...”
    “Yang benar saja, Pak, kata Hakim Steven, “anda akan mendatangi ibu-ibu hanya untuk mengatakan rumahnya berbau busuk?”
    Pada malam keesokan harinya, setelah larut malam, empat orang pria masuk ke halaman rumah Miss Emily dan mengendap-endap seperti seorang pencuri, mengendus-endus di bawah tembok bata hingga pintu gudang bawah tanah sementara salah satu dari mereka bergerak perlahan-lahan sambil menaburkan sesuatu dengan tangannya yang menyandang sebuah karung dibahunya. Mereka membuka paksa pintu gudang bawah tanah dan menebarkan jeruk lemon di situ dan di semua bagian luar bangunan tersebut. Ketika mereka kembali ke halaman depan rumah, lampu menyala di jendela yang tadinya gelap dan Miss Emily duduk di dalamnya dengan bagian atas tubuhnya mematung seperti sebuah berhala. Mereka mengendap-endap diam-diam melintasi halama menuju jalanan gelap yang dijejeri oleh pohon akasia. Satu atau dua minggu kemudian, bau busuk itu telah lenyap.
    Itulah ketika orang-orang mulai merasa kasihan padanya. Penduduk kota kami, masih ingat jelas bagaimana Old Lady Wyatt, neneknya, menjadi gila mempercayai bahwa Grierson menganggap diri mereka terlalu tinggi dari mereka sebenarnya. Tak ada seorang pemudapun yang cukup cocok untuk Miss Emily. Kita menganggap keluarga itu sebagai tablo (sosok-sosok yang tidak bergerak di panggung pertunjukan), sosok langsing Miss Emily berbalut pakaian putih pada latar belakang, siluet tubuh ayahnya di bagian depan, tubuh ayahnya menempel pada Emily memegang sebuah cambuk kuda, dua sosok mereka terbingkai pada bagian belakang pintu depan. Ketika dia menginjak usia tiga puluh dan masih sendiri, kami mulai khawatir tapi kami tidak menyalahkannya; bahkan dengan kegilaan dalam keluarganya bukab berarti dia menolak semua kesempatan yang datang jika mereka benar-benar terwujud.
    Ketika ayahnya meninggal dunia, ini mengenai rumah itu yang  satun-satunya diwariskan padanya; dan para penduduk kota yang bergembira. Pada akhirnya, mereka bisa menunjukkan rasa kasihan mereka kepada Miss Emily. Ditinggalkan sebatang kara dengan sedikit harta akan membuatnya menjadi lebih membaur. Kini dia akan mengerti tekanan dan keputusasaan karena kekurangan harta dan uang.
    Sesuai dengan kebiasaan di kota kami pada hari setelah kematian ayahnya seluruh wanita di sini bersiap-siap untuk menyampaikan rasa belasungkawa mereka serta memberi bantuan yang mungkin diperlukan. Miss Emily menemui mereka di depan pintu rumah dengan pakaian sehari-hari tanpa raut sedih nampak di wajahnya. Dia memberitahu mereka bahwa ayahnya tidak meninggal dunia. Dia melakukan itu selama tiga hari-hari berturut-turut, ketika pendeta menemuinya,dan dokter membujuknya membiarkan mereka menguburkan mayat ayahnya. Ketika mereka akan memutuskan akan mengambil jalan paksa untuk mendapatkan jenazah ayahnya, Miss Emily akhirnya menyerah dan mereka segera menguburkan jenazah tersebut.
    Kami tidak mengatakannya gila. Kami yakin dia terpaksa melakukan itu. Kami ingat dengan jelas semua pemuda yang ditolak ayahnya, dan kamu mengerti dengan tidak ada yang tersisa, dia harus bergantung pada apa yang telah kami ambil paksa dari dia, sebagaimana orang lainnya.
III

    Dia jatuh sakit cukup lama. Ketika kami melihatnya lagi, rambutnya dipotong pendek membuatnya terlihat seperti seorang gadis muda, sedikit mirip dengan lukisan-lukisan malaikat di jendela-jendela gereja.
    Pemerintah kota baru saja menandatangani kontrak untuk memasang batu trotoar, dan mereka mulai bekerja pada musim panas setelah kematian ayahnya. Perusahaan pembangunan datang dengan pemasang batu, mesin-mesin dan seorang mandor bernama Homer Baron, seorang Amerika—pria dewasa berbadan tegap berkulit coklat dengan suara berat serta mata yang lebih terang dari kulitnya. Bocah-bocah lelaki bergerombol mengikutinya untuk mendengarnya memarahi para pemasang batu, dan para pemasang batu menyanyi seirama dengan gerakan mereka memasang batu trotoar. Tak lama berselang, dia mengenali semua orang di kota ini. Kapanpunarai  kau mendengar ada tawa disebuah kerumunan orang, itu berarti ada Hormer Barron di tengah mereka. Belakangan, kami melihat dia dan Miss Emily pada siang di hari minggu mengendarai kereta kuning beroda yang ditarik oleh sepasang kuda yang dipelanai seragam.
    Awalnya kami senang Miss Emily memiliki seseorang yang menarik baginya, karena semua wanita di kota itu berkata, “Pastinya seorang Grierson tidak benar-benar tertarik pada seorang dari utara, pekerja kasar pula.” Yang lain terutama yang tua-tua mengatakan bahkan duka dalam sekalipun tak mungkin membuat seorang wanita lupa akan darah birunya. Mereka hanya bisa bilang, “Kasihan Emily. Kerabatnya semestinya ada yang datang menjenguknya.” Dia memiliki saudara di Alabama; tapi beberapa tahu lalu ayahnya bertengkar dengan mereka karena warisan Old Lady Wyatt, wanita yang gila itu. Semenjak itu, kedua keluarga besar itu putus hubungan. Mereka bahkan tidak hadir pada pemakaman ayah Miss Emily.
    Secepat orang-orang tua itu mengatakan , “Kasihan Emily,” bisik-bisik di kota itu bersebar. “apak kamu yakin begitu adanya?” tanya mereka satu sama lain. .”tentu saja, apa lagi yang bisa ......”. Mereka membicarakan itu di belakang mereka; berkomat-kamit karena kecemburuan di bawah terpaan sinar matahari pada siang hari minggu itu ketika suara klo-klop-klop dari kereta kudanya lewat di tengah mereka: “Kasihan Emily.”
    Dia mendongakkan kepalanya cukup tinggi—bahkan di suasana suram seperti itu. seolah dia menuntut lebih dari sekedar pengakuan atas martabatnya sebagai keturunan Grierson yang terakhir. Seolah dia menginginkan sentuhan lembut untuk menguatkan kembali keteguhan hatinya. Seperti ketika dia membeli racun tikus, Arsenik. Itu terjadi setahun yang lalu sebelum penduduk kota mulai berbisik-bisik “kasihan Emily,” dan ketika dua sepupu perempuannya datang berkunjung.
    “Aku mau beli racun,” ujarnya kepada apoteker. Saat itu dia berusaha tiga puluh tahun. Ketika itu dia masih bertubuh langsing, meski lebih kurus dari biasanya, dengan mata hitamnya yang dingin dan kaku pada wajahnya yang berkerut di sekitar pelipis dekat kantung mata seperti wajah penjaga menara mercusuar yang sedang berjaga-jaga. “Aku mau beli racun,” ulangnys.
    “Iya, Miss Emily. Racun apa? Untuk tikus atau? Aku sarankan—”
    “Apa yang paling bagus. Aku tak peduli mereknya.”
    Apoteker itu menyebutkan beberapa merek. “Mereka bisa membunuh apapun bahkan seekor gajah. Tapi yang anda inginkan adalah—“
    “Adalah . . . arsenik? Iya, nyonya. Tapi yang kau inginkan—“
    “Aku mau arsenik.”
    Apoteker itu melihat ke arahnya. Dia menatap balik mengencangkan raut wajahnya seperti bendera yang sedang berkibar. “Tentunya,” kata apoteker itu. “Jika anda mau itu. Tapi menurut hukum anda harus bilang untuk apa anda akan menggunakan racun tersebut.”
    Miss Emily hanya menatap dingin padanya, kepalanya dia miringkan ke belakang untuk melihatnya mata ke mata hingga apoteker itu melihat ke arah lain dan mengambil arsenik lalu membungkusnya. Bocah Negro pelayan toko memberinya bungkusan paket pesanan itu; apoteker itu tidak muncul. Ketika dia membuka bungkusan itu di rumah, ada sebuah tulisan di kotak itu dibawah gambar tengkorak dan tulang: “untuk tikus.”
IV

    Esok harinya kami berkata, “Dia akan bunuh diri”; dan kami juga bilang itu hal yang terbaik baginya. Ketika dia mulai terlihat lagi bersama Harmer Brown, kami bilang, “Dia akan menikah dengannya.” Tak lama berselang, kami bilang, “Dia mungkin akan membujuknya,” karena Homer mengatakan—dia menyukai pria, dan diketahui orang banyak bahwa dia sering minum-minum dengan beberapa pemuda di klub Elk—bahwa dia tidak menikah. Kemudian kami bilang, “Kasihan Emily” dibelakang derapan keretanya ketika dia lewat di depan kami pada minggu siang itu dengan keretanya, Miss Emily dengan kepalanya yang mendongak tinggi dan Hormer Barron dengan topinya yang dilekuk dan rokoh di mulutnya,  mengendalikan kereta itu dengan cambuk di tanganya yang memakai sarung tangan kuning.
    Kemudia para ibu-ibu mulai berbisik-bisik Emily merupakan aib bagi kota itu dan memberikan contoh yang tidak bagus pada generasi muda. Para pria di kota itu tidak mau ikut campur urusan itu, tetapi para ibu-ibu pada akhirnya memaksa pendeta di sana untu memperingatkanya. Dia tak pernah menceritakan kepada mereka isi pembicaraanya dengan Emily, dan tidak mau mendatanginya kembali. Minggu berikutnya Emily dan Hormer muncul kembali berduaan mengendarai kereta di jalanan, dan pada keesokan harinya istri pendeta di sana mengirim surat kepada kerabat Emily di Alabama.
Kerabat Emily datang dari Alabama dan menginap di rumahnya; kamipun menyaksikan bagaimana perkembangannya. Pada mulanya, tidak ada yang berubah. Kemudian kamu mulai yakin mereka akan menikah. Kami melihat Miss Emily pergi ke tokoh perhiasan dan memesan kaca rias pria berwarna perak berlukiskan huruf H.B pada tiap-tiap sisiny. Dua hari kemudian kami melihat dia membeli setelan lengkap pria termasuk baju tidur, dan kami berkata, “Mereka menikah.” Kami sangat senang karena dua sepupu Emily yang datang ke sana lebih Grierson daripada Emily.
    Jadi kami tidak heran ketika Homer Baron—pekerjaan jalan telah selesai—pergi dari kota itu. Kami sedikit kecewa mereka tidak mengumumkan pernikahan mereka kepada penduduk kota, tapi kami yakin dia mempersiapkan kedatangan Emily, atau memberinya kesempatan untuk menyingkirkan sepupunya dari rumah itu. (Pada waktu itu ada komplotan rahasia, kami diam-diam membantu Miss Emily untuk menyingkirkan sepupunya). Tepatnya setelah seminggu berlalu, kerabat Emily pergi dari rumahnya.  Sebagaimana yang kami duga selama ini, dalam tiga hari Homer Brown kembali ke kota itu. Seorang tetangga melihat pelayan Negro itu menyambutknya di pintu dapur pada suatu senja.
    Dan itu terakhir kalinya, kami melihat Homer Brown meskipun kami masih melihat Miss Emily beberapa kali. Pria Negro tetap keluar masuk dari rumah itu dengan menjinjing keranjang belanja, tapi pintu rumah itu tetap tertutup. Beberapa kali, kami melihat Emily di jendelanya, seperti yang dilihat oleh para pria yang dulu menaburkan lemon ke rumah Emily untuk menghilangkan bau, tapi hampir selama enam bulan dia tak pernah terlihat berada di luar rumahnya. Kemudian kami tahu ini seperti apa yang kami duga; seolah kelakuan ayahnya yang telah menyulitkan kehidupannya sebagai seorang wanita sangat membinasakan dan sulit untuk dilupakan.
    Ketika kami melihat Miss Emily kembali, dia berubah menjadi gemuk dan rambutnya berubah abu-abu. Selama tahun-tahun berikutnya, rambutnya semakin abu-abu dan pada akhirnya seluruh rambutnya berwarna abu-abu pekat. Hingga kematiannya pada usianya ke tujuh puluh empat, rambutnya tetap berwarna seperti itu.
    Sejak waktu itu, pintu rumahnya selalu tertutup, kecuali beberapa waktu selama enam atau tujuh tahun, ketika dia berusia empat puluh, saat itu dia memberikan les melukis lukisan cina. Dia mendirikan sebuah studio di salah satu ruang bawah rumahnya, di mana puteri dan cucu penerus Kolonel Sartoris berangkat ke rumah itu secara teratur dengan semangat yang sama ketika mereka berangkat ke sekolah minggu dengan uang belanja 25 sen. Sementara itu tagihan pajaknya tetap dikirim.
    Kemudian generasi muda di kota itu menjadi tulang punggung, anak-anak yang dulunya belajar melukis tumbuh dewasa dan tidak menyuruh anak-anak mereka belajar melukis ke rumah Emily. Pintu rumah Emily pada akhirnya tertutup selamanya semenjak itu. Ketika penduduk kota mendapat layanan post gratis, Miss Emily satu-satunya penduduk kota yang menolak memasang nomor pos serta kotak surat di rumahnya. Dia tidak mau mendengar petugas pos tersebut.
    Hari berlalu, bulan dan tahun berganti, kami melihat Negro itu semakin tua dan bungkuk, keluar masuk rumah itu dengan menjinjing keranjang belanja. Setiap bulan Desember kami tetap mengirimnya surat tagihan pajak, yang seminggu nantinya akan dikirim kembali ke kantor pos tanpa komentar. Beberapa kali, kami melihatnya di salah satu jendela lantai bawah—dia tempaknya telah menutup lantai atas rumah tersebut—seperti patung torso. Kami tak pernah tahu pasti apakah dia melihat kepada kami atau tidak. Begitulah dia selama tahun-tahun yang lama berlalu—terhormat, tak terelakkan, tak tersentuh, tenang dan suka menentang.
    Kemudian dia meninggal dunia. Menghembuskan nafas terakhirnya di rumah berdebu dan gelap hanya dengan seorang Negro yang gemetar menungguinya. Kami bahkan tidak tahu kalau dia sakit; kita telah lama menyerah mengorek informasi tentangnya dari Negro itu. Dia tak pernah berbicara pada siapapun, mungkin bahkan pada Emily sekalipun, karena suaranya terdengar kelu dan serak seolah tak pernah digunakan.
    Dia meninggal di salah satu ruangan lantai bawah, di atas ranjang berkelambu  terbuat dari kayu kenari, rambut abu-abunya yang apak oleh usia dan jarang terkena sinar matahari menopang kepalanya di atas bantal berwarna kuning
V

    Negro itu menyambut ibu-ibu di pintu depan dan membiarkan mereka masuk, dengan kediaman dan suara berbisik-bisik serta tatapan mereka yang penuh rasa ingin tahu isi rumah itu, kemudia Negro itu menghilang. Dia berjalan lewat ruang depan dan pergi ke belakang dan tak terlihat lagi.
    Dua sepupu Emily segera datang. Mereka memakamkan jenazah Emily pada hari kedua, dengan dihadiri oleh seluruh penduduk kota menyaksikan Miss Emily bersemayam di bawah tumpukan bunga, dengan lukisan wajah ayahnya merenung di antara usungan tandu dan bisikan ibu-ibu; serta pria-pria berusia lanjut—beberapa dari mereka mengenakan seragam persatuan—di serambi depan dan halaman rumah, membicarakan Emily seolah-olah mereka kenal denganya, percaya bahwa mereka pernah berdansa dengannya atau mungkin berkencan, membingungkan waktu dengan hitungan matematisnya, sebagaimana yang biasa terjadi pada orang-orang tua, bagi mereka yang masa lalu belumlah menjadi jalan yang telah hilang tetapi, bukannya seperti padang rumput luas dimana tak pernah terterpa musim dingin, kini terpisahkan dari mereka oleh lembah sempit selama puluhan tahun berakhir.
    Kamu mengetahui ada satu ruangan di lantai atas yang seorangpun pernah melihatnya selama empat puluh tahun, dan harus dibuka secara paksa. Mereka menunggu hingga Miss Emily dimakamkan secara layak sebelum membuka ruangan itu.
    Suara gaduh pintu yang dibuka secara paksa mengisi ruangan ini ditambah dengan debu yang berterbangan. Tebal, kain penutup peti mati tampak terbentang menutupi ruangan ini didandani dan dihiasi seperti untuk pengantin: di atas tirai kelambu berwarna merah mawar yang memudar, di atasnya terdapat cahaya temaram, di  atas meja rias, di atas susunan kristal lembut dan lemari pakaian pria berpoles warna perak yang mulai mengelupas. Di atasny terbentang sebuah kemeja dan dasi, yang tampak seperti baru ditanggalkan, ketika diangkat mereka meninggalkan bentuk bulan sabit pada permukaan yang berdebu. Diatas kursi digantung sebuah setelan, yang dilipat rapi; dibawahnya ada dua sepatu dan kaus kaki usang.

    Pria itu berbaring di atas ranjang.
    Lama kami mematung dan menatap terkejut seulas ringisan pada tubuh yang tak berdaging itu. Tampaknya tubuh itu dulu berbaring sedang memeluk sesuatu, tapi kini tertidur panjang yang yang memudarkan ringisan cinta yang telah menyakitinya. Apa yang tersisa darinya, membusuk dibawah apa yang kini tampak seperti baju tidur, menjadi tak memungkinkan dia untuk melarikan diri dari kasur tempat dia terbaring; di atas tubuhnya dan bantal di sampingnya diselimuti oleh debu yang sangat tebal.
    Kemudian kami melihat bekasan lekukan kepala pada bantal di sampingnya. Salah seorang dari kami memungut sesuatu dari bantal itu. Bergelombang ke depan, kusam dan kering berdebu serta berbau busuk menyengat hidung, kami melihat sehelai rambut panjang berwarna abu-abu pekat.


0 comments:

Post a Comment

Pengunjung Blog

Komentar Terbaru

My Blog Rank

SEO Stats powered by MyPagerank.Net

Advertisement

Blog Archive

Translate

Popular Posts

Visitors

Total Pageviews

Powered by Blogger.

Followers