Wednesday, May 28, 2014

Araby
(1914)
Oleh: James Joyce
 
Jalan North Richmond adalah jalan buntu yang sangat lengang kecuali pada jam-jam murid-murid sebuah sekolah di sana selesai belajar untuk hari itu. Sebuah rumah bertingkat dua yang tidak ditempati berdiri di ujung jalan, terpisah dari rumah-rumah lain di sekitarnya. Rumah-rumah lain yang berpenghuni berdiri berhadapan di sepanjang jalan.

Rumah yang akan kami tempati sebelumnya dihuni oleh seorang pendeta yang ditemukan meninggal dunia di ruang tamu belakang. Karena lama tertutup, udara pengap memenuhi rumah itu ketika aku memasukinya, dan kertas-kertas usang berserakan di ruangan kosong di belakang dapur. Di antara serakan kertas-kertas usang tersebut, aku menemukan beberapa buku yang masih bersampul utuh dengan halaman yang terlipat-lipat dan lembab. Di sampul buku-buku tertera judul: The Abbot, oleh Walter Scott, The Devout Communicant dan The Memoirs of Vidocaq. Aku menyukai buku yang terakhir karena sampulnya masih berwarna kekuningan. Di belakang rumah itu, ada kebun tak terawat yang ditumbuhi oleh pohon apel dan semak belukar di mana aku menemukan pompa berkarat milik pendeta tersebut. Pada masa hidupnya, pria itu sangatlah dermawan; dalam warisannya ia memberikan seluruh uangnya kepada yayasan dan menyerahkan seluruh perabotan rumahnya kepada saudarinya.

Ketika musim dingin, siang-siang menjadi lebih pendek dari biasanya dimana temaram senja telah muncul sebelum kami menghabiskan santapan makan malam. Kesuraman senja telah meliputi rumah-rumah di sana ketika kami bertemu di jalan. Langit di atas kami berubah menjadi berwarna jingga serta cahaya temaram bersinar redup dari lampu jalanan. Udara dingin terasa menusuk tulang, tapi kami tetap bermain di luar rumah hingga badan berkeringat. Teriakan lantang suara kami bergema di jalanan yang kini sepi. Terkadang kami bermain kejar-kejaran menuju jalan setapak berlumpur gelap di belakang rumah, dimana kami berlari di antara jajaran gubuk kumuh menuju pintu belakang kebun yang tak terbengkalai. Di situ kami mencium bau menyengat dari lubang asap. Dari kebun itu, kami terus bermain kejar-kejaran berlari ke arah kandang kuda yang juga berbau busuk. Di kandang itu, kami mendapati seorang kusir tengah menghaluskan dan menyisir rambut kudanya, sesekali terdengar bunyi irama dari ember yang dipukul. Ketika kami kembali ke jalan besar, cahaya lampu-lampu memancar dari jendela dapur menerangi jalan. Jika pamanku terlihat berjalan di bengkolan jalan itu, kami akan bersembunyi darinya hingga dia menghilang masuk ke dalam rumah. Atau jika kakak perempuan Mangan muncul di tangga rumah memanggil adiknya untuk menikmati secangkir teh, kami akan menyaksikan perempuan itu di tempat kami bersembunyi memandang sekeliling dan turun ke jalan. Kami akan menunggu apakah dia akan tetap di luar rumah atau masuk ke dalam. Jika dia tetap berdiri di luar rumah, kami akan keluar dari persembunyian dan pergi menemuinya di tangga rumah. Sosoknya yang tengah menunggu kedatangan kami tercetak oleh cahaya lampu yang berasal dari pintu yang setengah terbuka. Adiknya selalu bergurau dengan perempuan itu sebelum dia melakukan perintah kakaknya. Ketika dia berjalan pakaianya berayun seiring dengan gerakan badannya, dan rambut tergerainya juga ikut bergoyang.

Setiap pagi aku berbaring di lantai serambi depan rumahku sambil memperhatikan pintu rumah perempuan tersebut. Supaya tidak ketahuan, aku hanya menyibak tirai jendela selebar satu inci. Jika aku melihatnya muncul di tangga rumah, hatiku berdegup kencang. Akupun berlari menuju ruang depan, mengambilku buku, dan berjalan mengikutinya. Aku memperhatikan sosok tubuh perempuan itu ketika aku berjalan di belakangnya. Saat kami hampir berpapasan, aku mempercepat langkahku dan mendahuluinya dengan acuh. Ini terjadi setiap pagi. Aku tak pernah berbicara dengannya selain dari berbasa-basi, namun namanya seperti panggilan yang mengalir di darahku.

Bayang dirinya selalu menemaniku bahkan di tempat tersuram sekalipun. Pada suatu malam Sabtu, aku menemani bibiku pergi ke pasar sambil  menjinjing beberapa bungkus parsel yang disuruhnya. Kami berjalan menyibak jalanan yang ramai dan gaduh serta riuh oleh pria mabuk yang  berjalan sempoyongan dan wanita-wanita tengah  berbelanja. Di tengah kata-kata kasar para buruh pasar, terdengar suara siulan lagu pujian  dari seorang pelayan toko di dekat tong tempat daging babi dan suara sengau para pengamen yang menyanyikan lagu came all you dan sebuah lagu balada bercerita tentang malapetaka di daerah kami. Semua keributan itu menyatu dan memberikan sebuah perasaan tersendiri bagiku: Aku membayangkan diriku tengah mengusung piala kemenangan di tengah kerumunan musuh-musuhku. Nama perempuan itu terujar begitu saja dari bibirku seperti lantunan doa dan pujian yang aku sendiri tidak mengerti apa artinya. Air mata berlinang di pipiku (aku tak tahu apa sebabnya) dan saat itu aku merasa genangan rasa di hatiku seolah meluap menenggelamkan relung jiwaku. Aku tidak begitu peduli dengan apa yang akan terjadi. Aku tidak tahu apakah aku akan mengatakan ini padanya atau tidak,  jika aku mengatakannya pada dirinya, bagaimana aku akan menggambarkan kekaguman yang membingungkanku ini. Akan tetapi tubuhku seperti sebuah harpa dan kata serta bahasa tubuhnya adalah jemari yang menari-nari memetik dawai harpa itu.

Suatu malam aku pergi ke ruang tamu belakang tempat pendeta itu di temukan meninggal dunia.  Suara hujan yang turun dengan sangat lebat malam itu  memenuhi rumah sehingga tidak suara lain yang terdengar. Dari retakan salah satu jendela aku mendengar air hujan menghempas bumi, tetesan air hujan tak putus-putusnya turun di atas tanah berumput. Cahaya lampu dari kejauhan dan jendela bersinar redup di bawahku. Aku merasa senang bisa melihat cahaya temaram nan redup tersebut. Semua rasaku seolah ingin melepaskan apa yang telah menyelubunginya, dan merasa bahwa aku akan pergi melayang darinya. Aku mengatupkan kedua telapak tanganmu sambil berbisik : O love! O love! berulangkali.
Akhirnya dia berbicara kepadaku. Ketika dia mengucapkan kata-kata pertamanya kepadaku, aku sangat kebingungan sehingga aku tidak tahu harus jawab apa. Dia bertanya apakah aku akan pergi ke Araby. Aku lupa apakah aku mengiyakan atau menidakkannya. Araby merupakan bazar yang sangat mengagumkna; dia mengatakan dia ingin pergi ke bazar itu tapi tidak bisa.

“Kenapa kau tak bisa pergi?” tanyaku.

Dia menjawab sambil memutar-mutar gelang perak yang melingkar di pergelangan tangannya. Dia bilang dia tak bisa pergi karena pada minggu itu dia harus mengasingkan diri beribadah bersama jemaatnya. Aku sendirian di anak tangga itu karena adiknya sebfan memperebutkan sebuah topi bersama dengan dua bocah lainnya. Dia berpegang pada salah satu pagar tangga sambil membungkukkan kepalanya kepadaku. Cahaya lampu yang memanjar dari pintu di seberang kami terhalang jenjangan lehernya yang putih, menerangi bagian belakang rambut dan tanganya di atas tangga itu. Batasan berwarna putih roknya tampak jelas terkena cahaya lampu.

“Sebaiknya kau pergi ke bazar itu”, ujarnya.
“Jika aku kesana, Aku akan membelikanmu sesuatu”, jawabku.

Pikiran-pikiran konyol selalu membayangiku ketika terbangun maupun tertidur setelah malam itu. Aku berharap bisa menghapuskan hari-hari penantian membosankan menuju bazar itu. Aku malas mengerjakan tugas sekolahku. Di kamarku siang dan malam, raut wajahnya selalu muncul di antara lembaran buku-buku yang aku balik dan baca. Suku kata Araby terngiang-ngiang dalam kediaman diriku dimana jiwaku merasakan kenikmatan dan merapalkan mantra dunia timur menjerat diriku. Aku minta izin untuk pergi ke Bazar pada Sabtu malam. Bibiku terkejut dan mengatakan dia berharap bahwa bazar itu tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Freemason. Aku menjawab pertanyaan-pertanyaan dari guruku dalam kelas. Aku memperhatikan raut wajah guruku berubah dari ramah menjadi menyerngit; dia ingin aku tidak bermenung-menung di kelas. Aku tak bisa berkonsentrasi dengan pikiranku yang melanglang kemana-mana. Aku tidak memiliki kesabaran dengan hal-hal yang serius; karena sekarang hal yang serius itu ada di antara aku dan keinginanku, itu tampak seperti permainan anak-anak  bagiku, permainan anak-anak yang buruk dan membosankan.

Pada pagi hari Sabtu, aku mengingatkan pamanku keinginanku untuk pergi ke bazar itu pada malam harinya. Sambil berkomat-kamit di gantungan baju mencari topi bulunya, dia memberengut menjawabku:

“Iya, paman sudah tahu.”

Karena pamanku berada di ruangan itu, aku tak bisa pergi ke serambi depan dan berbaring malas-malasan di jendela. Aku merasa campur aduk di rumah itu dan berangkat menuju sekolah dengan langkah tergontai. Cuaca buruk menemaniku berjalan ke sekolah dan aku merasa sesuatu yang tidak beres akan terjadi padaku.

Pamanku belum pulang, ketika waktu makan malam. Menurutku, waktu bazar itu masih lama. Aku duduk gelisah sambil sesekali melihat jam dinding yang detikan jarumnya membuatku jengkel. Akupun pergi meninggalkan rangan itu. Aku mendaki tangga dan naik ke bagian atas rumah itu. Bagian atas rumah yang tinggi, dingin, kosong dan suram itu membuatku merasa sedikit lapang, aku berjalan leluasa sambil menyanyi dari ruangan ke ruangan lain. Dari jendela depan, aku melihat teman-temanku tengah bermain di jalan di bawahku. Teriakan mereka yang tak jelas samar-samar terdengar olehku. Menempelkan keningku ke kaca jendela, aku melihat ke arah rumah tempat perempuan itu tinggal yang kini tampak gelap. Mungkin aku telah berada di ruangan itu selama sejam tanpa menampak apa-apa selain sesosok perempuan berbaju cokelat yang dihasilkan oleh imajinasiku.

Ketika aku turun ke bawah, aku mendapati Mrs Mercer sedang duduk berdiang di depan perapian. Dia adalah wanita tua yang cerewet, seorang janda pemilik rumah gadai yang mempunyai hobi mengumpulkan perangko karena dia beranggapan itu bagus. Aku harus menahan diriku mendengar gosip di meja makan. Kami makan malam lebih dari satu jam tapi pamanku masih belum pulang juga. Mrs Mercer bersiap-siap pulang ke rumahnya dia minta maaf dia tidak bisa lama-lama karena udara malam tidak bagus untuk kesehatannya. Setelah dia pergi, aku berjalan mondar-mandir di ruangan tersebut sambil mengepal-ngepalkan tinjuku.

“Aku saran kau tak usah ke bazar itu karena ini adalah malam natal.”

Tepat jam sembilan malam, aku mendengar pamanku membuka kunci pintu di ruangan depan. Aku mendengarnya berbicara sendiri dan gantungan baju bergoyang ketika pamanku menaruh mantelnya. Aku bisa menafsirkan apa maksud semua itu. Ketika paman tengah makan malam, aku meminta uang kepadanya untuk pergi ke bazar. Dia lupa.

“Orang-orang telah tidur” , jawabnya.

Wajahku murung kecut. Bibiku berbicara padanya dengan agak emosi:

“Tak bisakah kau langsung memberinya uang agar dia bisa pergi ke bazar itu? kau membuatnya lama menunggu.”

Pamanku sangat menyesal karena dia lupa rencanaku mau pergi. Dia bilang memang benar kata pepatah “bekerja terus menerus akan membuat Jack linglung.” Dia bertanya aku mau pergi kemana, ketika aku mengatakan kepadanya untuk kedua kalinya, dia menanyakan padaku apakah aku tahu puisi The Arab’s Farewell to his Steed. Dia membacakan bait pembuka puisi itu, ketika aku keluar dari dapur.

Aku menggenggam erat uang dua belas sen di tanganku ketika aku menyusuri jalan Buckingham menuju stasiun. Pemandangan jalanan dihiasi oleh kerumunan pedagang jalanan dan pembelinya serta bersinar terang mengingatkanku tujuan dari perjalananku. Aku duduk di gerbong kelas tiga kereta yang tersisa malam itu. Setelah melalui hari yang melelahkan, kereta itu berangkat dengan perlahan. Kereta itu tampak menjalar diantara reruntuhan rumah-rumah dan sungai yang berkelok-kelok. Di Stasiun Westland Row, aku melihat kerumunan orang berdesakan di pintu kereta tetapi seorang petugas kereta mengatakan pada mereka itu khusus untuk kereta bazar. Aku tetap sendirian di kereta yang kosong itu. Beberapa menit berselang, keretaku berhenti di sebelah sebuah peron kayu yang diperbaiki. Aku melangkah menuju jalanan dan melihat jam di tanganku yang menunjukkan jam sepuluh lewat sepuluh menit. Di depanku berdiri sebuah gedung besar yang memapangkan sebuah nama ajaib, Araby.

Aku tak memiliki uang enam puluh sen untuk membeli karcis. Karena takut bazarnya akan segera tutup, aku melangkah tergesa-gesa di antara pintu pagar pembatas, memberikan satu shilling untuk seorang pengemis yang tampak menyedihkan. Aku mendapati diriku berada di sebuah aula besar, setengah tinggi dindingnya dipersiapkan untuk sebuah galeri. Aku mengenali keheningan itu, keheningan seperti di gereja setelah pelayanan diberikan.  Aku berjalan ke tengah bazar itu dengan takut-takut. Aku melihat beberapa orang berkumpul di stan yang masih dibuka. Di depan sebuah tirai, dimana tertulis Café Chantant dengan cahaya lampu, dua orang pria tampak sedang menghitung uang di atas sebuah nampan. Aku mendengar suara uang-uang receh itu bergemericing di nampan.

Ingat akan kesulitan yang telah aku lalui untuk sampai di sini, aku pergi menuju salah satu stan dan melihat-lihat vas porselen dan teko serta cangkir teh bermotif bunga. Di pintu stan, seorang perempuan berbicara dan bercanda dengan dua orang pemuda. Aku mengenali aksen Inggris mereka dan mendengarkan pembicaraan mereka dengan tidak jelas.

“Aku tak pernah berkata begitu!”

“Kau memang mengatkannya!”

“Tidak!”

“Bukankah dia berkata begitu!”

“Iya aku mendengarnya.”

“O, ada pembeli!”

Memperhatikanku, perempuan itu datang kepadaku dan bertanya apa aku mau membeli sesuatu. Nada suaranya tidak menyemangati; tampaknya dia berbicara padaku karena terpaksa oleh tugasnya sebagai seorang pelayan. Aku menatap merendah ke arah sebuah guci ang berdiri seperti seorang penjaga pada pintu masuk stan yang gelap dan berkata pelan:

“Tidak, terima kasih.”

Perempuan itu merubah posisi salah satu vas dan kembali ke dua pemuda tadi membicarakan hal yang sama dengan sebelumnya. Sesekali perempuan itu melirik ke arahku melalui bahunya.

Aku diam berdiri di depan stannya, mesti aku tahu sia-sia aku berada di situ, hanya membuat ketertarikanku pada barangnya tampak jelas. Kemudian aku berbalik perlahan dan berjalan ke tengah-tengah bazar. Aku memasukkan kembali uang dua senku ke dalam sakuku yang berisi uang sejumlaj enam sen. Aku mendengar sebuah suara memanggil dari salau satu ujung galeri kemudian cahaya lampu dipadamkan.

    Sambil menatap kegelapan, aku melihat diriku seperti seorang makhluk dipermainkan dan dicemooh oleh kesia-siaan dunia. Mataku membara oleh kesedihan mendalam dalam serta kemarahan.
Alih bahasa oleh : Rendi Afriadi

0 comments:

Post a Comment

Pengunjung Blog

Komentar Terbaru

My Blog Rank

SEO Stats powered by MyPagerank.Net

Advertisement

Blog Archive

Translate

Popular Posts

Visitors

Total Pageviews

Powered by Blogger.

Followers